Jumat, Oktober 19, 2012

Mempersiapkan Diri Bila Suami “Pergi” (1)

Tiada satu orang pun tahu, sampai kapan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperjalankan usia pernikahan. Hampir setiap suami-istri bercita-cita melanggengkan ikatan pernikahan sampai tua, kakek nenek. Bahkan ada pula yang berharap, pasangannya di di dunia adalah pasangannya pula di akhirat. Wallahu ’alam.

Namun seringkali cita-cita itu tak lebih sebatas angan belaka. Takdir Allah-lah yang menentukan. Ada yang pernikahannya baru seumur jagung, lalu kandas oleh takdir berupa kematian maupun perceraian.

Perceraian, walaupun dibenci Allah, toh tidak sedikit menjadikannya jalan keluar. Perceraian kadang bisa menjadi solusi atas problem rumah tangga yang dihadapi.

Adapun rumah tangga yang adem ayem, bahkan sedang manis-manisnya, tiba-tiba dihadapkan pada takdir lain, yaitu kematian. Allah memisahkan pasangan. Sungguh, memang hanya di tangan Allah segala kebijaksaan ini.

Kematian, Risiko atau Dambaan?

Banyak para istri yang tidak siap ketika ditinggal wafat sang suami. Tampak beruntung mungkin bagi istri yang bersuami seorang PNS atau pegawai yang mendapat tunjangan. Dengan demikian, ketika suami meninggal, istri dan keluarganya terjamin (secara material).

Namun sejatinya bukanlah tunjangan atau pensiunan yang membuat para ibu “terjamin”. Banyak ibu di luar sana, yang suaminya bukan pegawai, bisa langsung sigap tatkala mendapati kenyataan suaminya diambil Allah. Dan kesigapannya ini tidak dipengaruhi oleh adanya pensiunan atau tunjangan.

Kematian sebagai takdir Allah seharusnya bukan sesuatu yang harus disesali. Terlebih bagi istri seorang da’i, kematian bukanlah risiko perjuangan, namun kemuliaan yang setiap saat didambakan. Kematian merupakan salah satu ujian untuk membuktikan keimanan. 

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)

Namun bagi kaum istri, kepergian suami mau tidak mau akan meninggalkan pemikiran yang cukup mendalam. Plus menuntut berbagai macam kesiapan. Inilah yang seringkali terlupakan oleh para wanita, terutama para istri aktivis dakwah.

Tingkatkan Diri

Para wanita, setelah menikah, biasanya merasa cukup “aman” dengan keberadaan suami sebagai qawwam.

“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisaa’: 34)

Qawwam berasal dari kata qa’im yang dapat diartikan sebagai seseorang yang bertanggung jawab, baik nafkah lahir maupun batin. Kedudukan suami sebagai qawwam seringkali membuat banyak wanita–kaum istri--terlena karena selalu “mengandalkan suami”. Mulai dari masalah penghasilan, sampai pada hal-hal sepele yang seharusnya bisa ditangani oleh seorang wanita. Kaum wanita cenderung menyerahkan berbagai urusan pada suami.

Hal itu tidak sepenuhnya merupakan kesalahan para istri itu. Pasalnya, memang tidak sedikit para suami yang meminta agar istrinya menangani hal-hal tertentu. Terkait dengan penghasilan, banyak laki-laki yang lebih suka istrinya tinggal di rumah, lebih fokus mengurusi rumah tangga. Dan hal ini pun tidak sepenuhnya salah.

Yang harus dipahami oleh para wanita yang notabene adalah kaum ibu, terlebih istri para aktivis dakwah, adalah usaha terus-menerus untuk meng-up grade diri. Hal ini harus pula dipikirkan oleh para suami, antara lain dengan memberi kesempatan bagi para istri untuk terus mengembangan diri, baik secara keilmuan maupun keterampilan.

Kembali kepada para istri. Sekalipun suami mungkin lebih menyukai istri tinggal di rumah atas pertimbangan kemaslahatan, bukan berarti para istri berhenti mengembangkan diri. Ada banyak hal yang tetap bisa dilakukan walaupun “hanya” dari rumah, tanpa meninggalkan anak-anak.

Para istri bisa memulainya dari sesuatu yang menjadi hobi, misalnya menjahit dan memasak. Ketika pekerjaan rumah tangga sudah tampak beres, anak-anak bisa diajak kerjasama, maka berilah kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang merupakan wujud dari pengembangan diri.

Banyak pula wanita yang menyukai macam-macam keterampilan yang bisa dikembangkan dari “balik” rumah. Naluri mendidik juga tidak terlepas dari sifat dasar ibu. Maka ketika suami lebih menyukai sang istri tinggal di rumah, naluri mendidik itu tetap bisa dikembangkan dengan menyesuaikan kondisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar