Rabu, Oktober 31, 2012

Suami Sholeh, harta yang paling berharga buat Istri

Buat seorang wanita, harta yang paling berharga didalam hidup ini adalah seorang suami yang sholeh. Kepadanyalah, seorang istri akan merasakan kebahagian didalam hidupnya dan diakhirat kelak, keberuntunganlah yang akan diterima seorang istri, jika dia mempercayakan hidupnya, memberikan segala cinta, perhatian, dan kasih sayangnya kepada suami yang sholeh. Karena didirinyalah, seorang istri akan mendapatkan apa yang didambanya: Ketenangan, keteduhan, kedamaian, perlindungan dan cinta serta sayang.
Suami yang sholeh adalah seorang yang bisa membahagiakan istri dan anaknya, serta keluarganya baik di dunia ini ataupun di akhirat kelak. Seorang suami yang sholeh tidak akan memberi makan istri dan anak-anaknya kecuali dengan harta yang halal.
Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Dan istri adalah amanah yang diberikan kepada seorang laki-laki yang menjadi suaminya.
Suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu memperlakukan istri dan anaknya dengan sifat-sifat yang terpuji, seorang suami yang sholeh akan selalu memperlakukan istrinya dengan sabar, sabar dengan setiap kesalahan-kesalahan istrinya, dan memperlakukan istrinya dengan kelembuatan dan penuh maaf saat istri dipenuhi dengan emosi dan kemarahan.
Suami yang sholeh adalah suami yang mampu menjadi pemimpin didalam rumah tangganya. Seorang suami bagaikan pemerintah didalam rumah tangganya, seorang suami yang sholeh adalah yang mampu memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya didalam pemerintahan yang dipimpinnya, dalam hal ini adalah istrinya.
Seorang suami yang sholeh akan selalu mampu bersikap bijaksana didalam tindakannya, menghargai pendapat istrinya, dan jika terjadi perbedaan pendapat dengan istrinya, dengan sikap terpuji dan penuh cinta kasih menghargai pendapat sang istri, serta mencari titik temu bersama dalam kerangka yang diperintahkan oleh alloh dan mejauhi segala yang dilarang oleh alloh.
Seorang suami yang sholeh akan selalu mampu menjadi teladan terpuji buat istri dan anak-anaknya. Mampu menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mendidik diri, istri, dan anak-anaknya untuk menapaki jalan-jalan yang menuju keridloan Alloh.
Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu membuat dirinya, istrinya dan anak-anaknya mencintai ilmu, menguasai ilmu dan mampu mengamalkannya, menjadikan ilmu yang diperolehnya itu bermanfaat bagi bangsa, negara, dan agamanya.
Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu membuat istrinya dan anak-anaknya tumbuh, dan berkembang menjadi pribadi yang luar biasa serta menapaki tangga-tangga sukses di dunia ini dan akhirat kelak.
Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang akan selalu menjaga istri dan anaknya dari api neraka.
»»  اقرأ المزيد...

Selasa, Oktober 23, 2012

doaku untukmu sayang, ( doa istri solehah )

bismillahirahmanirahim…kawanku semua yang dirahmati Allah, mempunyai istri yang cantik pastinya keinginan setiap laki-laki, namun terkadang karena melihat cantiknya saja sering kali mata lelaki salah memilih, orang-orang berkata, “Ah cantik itu relatif” cantik tidak hanya dilihat dari fisiknya saja namun cantik hatinya itulah yang sebenar-benarnya cantik, apalagi jika mempunyai istri yang rajin sholat malam, gemar tadarus Alquran, cerdas pengetahuan. pandai dalam memasak, wah lelaki mana yang tidak beruntung mendapatkan wanita seperti itu…iya to tidak kawan?sebuah kisah, doa istri sholehah….

 Di Madinah ada seorang wanita cantik shalihah lagi bertakwa. Bila malam mulai merayap menuju tengahnya, ia senantiasa bangkit dari tidurnya untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Tidak peduli waktu itu musim panas ataupun musim dingin, karena disitulah letak kebahagiaan dan ketentramannya. Yakni pada saat dia khusyu’ berdoa, merendah diri kepada sang Pencipta, dan berpasrah akan hidup dan matinya hanya kepada-Nya.Dia juga amat rajin berpuasa, meski sedang bepergian. Wajahnya yang cantik makin bersinar oleh cahaya iman dan ketulusan hatinya.Suatu hari datanglah seorang lelaki untuk meminangnya, konon ia termasuk lelaki yang taat dalam beribadah. Setelah shalat istiharah akhirnya ia menerima pinangan tersebut. Sebagaimana adat kebiasaan setempat, upacara pernikahan dimulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh. Namun wanita itu justru meminta selesai akad nikah jam dua belas tepat, ia harus berada di rumah suaminya. Hanya ibunya yang mengetahui rahasia itu. Semua orang ta’jub. Pihak keluarganya sendiri berusaha membujuk wanita itu agar merubah pendiriannya, namun wanita itu tetap pada keinginannya, bahkan ia bersikeras akan membatalkan pernikahan tersebut jika persyaratannya ditolak. Akhirnya walau dengan bersungut pihak keluarga pria menyetujui permintaan sang gadis.Waktu terus berlalu, tibalah saat yang dinantikan oleh kedua mempelai. Saat yang penuh arti dan mendebarkan bagi siapapun yang akan memulai hidup baru. Saat itu pukul sembilan malam. Doa ‘Barakallahu laka wa baaraka alaika wa jama’a bainakuma fii khairin’ mengalir dari para undangan buat sepasang pengantin baru. Pengantin wanita terlihat begitu cantik. Saat sang suami menemui terpancarlah cahaya dan sinar wudhu dari wajahnya. Duhai wanita yang lebih cantik dari rembulan, sungguh beruntung wahai engkau lelaki, mendapatkan seorang istri yang demikian suci, beriman dan shalihah.Jam mulai mendekati angka dua belas, sesuai perjanjian saat sang suami akan membawa istri ke rumahnya. Sang suami memegang tangan istrinya sambil berkendara, diiringi ragam perasaan yang bercampur baur menuju rumah baru harapan mereka. Terutama harapan sang istri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah.Setibanya disana, sang istri meminta ijin suaminya untuk memasuki kamar mereka. Kamar yang ia rindukan untuk membangung mimpi-mimpinya. Dimana di kamar itu ibadah akan ditegakkan dan menjadi tempat dimana ia dan suaminya melaksanakan shalat dan ibadah secara bersama-sama. Pandangannya menyisir seluruh ruangan. Tersenyum diiringi pandangan sang suami mengawasi dirinya.Senyumnya seketika memudar, hatinya begitu tercekat, bola matanya yang bening tertumbuk pada sebatang mandolin yang tergeletak di sudut kamar. Wanita itu nyaris tak percaya. Ini nyatakah atau hanya fatamorgana? Ya Allah, itu nyanyian? Oh bukan, itu adalah alat musik. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau. Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran ucapan orang tentang lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Oh…segala angan-angannya menjadi hampa, sungguh ia amat terluka. Hampir saja air matanya tumpah. Ia berulang kali mengucap istighfar, Alhamdulillah ‘ala kulli halin. “Ya bagaimanapun yang dihadapi alhamdulillah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban.”Ia menatap suaminya dengan wajah merah karena rasa malu dan sedih, serta setumpuk rasa kekhawatiran menyelubung. “Ya Allah, aku harus kuat dan tabah, sikap baik kepada suami adalah jalan hidupku.” Kata wanita itu lirih di lubuk hatinya. Wanita itu berharap, Allah akan memberikan hidayah kepada suaminya melalui tangannya.Mereka mulai terlibat perbincangan, meski masih dibaluti rasa enggan, malu bercampur bahagia. Waktu terus berlalu hingga malam hampir habis. Sang suami bak tersihir oleh pesona kecantikan sang istri. Ia bergumam dalam hati, “Saat ia sudah berganti pakaian, sungguh kecantikannya semakin berkilau. Tak pernah kubayangkan ada wanita secantik ini di dunia ini.” Saat tiba sepertiga malam terakhir, Allah ta’ala mengirimkan rasa kantuk pada suaminya. Dia tak mampu lagi bertahan, akhirnya ia pun tertidur lelap. Hembusan nafasnya begitu teratur. Sang istri segera menyelimutinya dengan selimut tebal, lalu mengecup keningnya dengan lembut. Setelah itu ia segera terdorong rasa rindu kepada mushalla-nya dan bergegas menuju tempat ibadahnya dengan hati melayang.Sang suami menuturkan, “Entah kenapa aku begitu mengantuk, padahal sebelumnya aku betul-betul ingin begadang. Belum pernah aku tertidur sepulas ini. Sampai akhirnya aku mendapati istriku tidak lagi disampingku. Aku bangkit dengan mata masih mengantuk untuk mencari istriku. Mungkin ia malu sehingga memilih tidur di kamar lain. Aku segera membuka pintu kamar sebelah. Gelap, sepi tak ada suara sama sekali. Aku berjalan perlahan khawatir membangunkannya. Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya. Ya Allah, sungguh ia tidak meninggalkan shalat malamnya termasuk di malam pengantin. Kupertajam penglihatanku. Ia rukuk, sujud dan membaca ayat-ayat panjang. Ia rukuk dan sujud lama sekali. Ia berdiri di hadapan Rabbnya dengan kedua tangan terangkat. Sungguh pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Ia amat cantik dalam kekhusyu’annya, lebih cantik dari saat memakai pakaian pengantin dan pakaian tidurnya. Sungguh kini aku betul-betul mencintainya, dengan seluruh jiwa ragaku.”Seusai shalat ia memandang ke arah suaminya. Tangannya dengan lembut memegang tangan suaminya dan membelai rambutnya. Masya Allah, subhanallah, sungguh luar biasa wanita ini. Kecintaannya pada sang suami, tak menghilangkan kecintaannya kepada kekasih pertamanya, yakni ibadah. Ya, ibadah kepada Allah, Rabb yang menjadi kekasihnya. Hingga bulan kedepan wanita itu terus melakukan kebiasaannya, sementara sang suami menghabiskan malam-malamnya dengan begadang, memainkan alat-alat musik yang tak ubahnya begadang dan bersenang-senang. Ia membuka pintu dengan perlahan dan mendengar bacaan Al-Qur’an yang demikian syahdu menggugah hati. Dengan perlahan dan hati-hati ia memasuki kamar sebelah. Gelap dan sunyi, ia pertajam penglihatannya dan melihat istrinya tengah berdoa. Ia mendekatinya dengan lembut tapi cepat. Angin sepoi-sepoi membelai wajah sang istri. Ya Allah, perasaan laki-laki itu bagai terguyur. Apalagi saat mendengar istrinya berdoa sambil menangis. Curahan air matanya bagaikan butiran mutiara yang menghiasi wajah cantiknya.Tubuh lelaki itu bergetar hebat, kemana selama ini ia pergi, meninggalkan istri yang penuh cinta kasih? Sungguh jauh berbeda dengan istrinya, antara jiwa yang bergelimang dosa dengan jiwa gemerlap di taman kenikmatan, di hadapan Rabbnya.Lelaki itu menangis, air matanya tak mampu tertahan. Sesaat kemudian adzan subuh. Lelaki itu memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini, ia lantas menunaikan shalat subuh dengan kehusyuan yang belum pernah dilakukan seumur hidupnya.Inilah buah dari doa wanita shalihah yang selalu memohonkan kebaikan untuk sang suami, sang pendamping hidup.Beberapa tahun kemudian, segala wujud pertobatan lelaki itu mengalir dalam bentuk ceramah, khutbah, dan nasihat yang tersampaikan oleh lisannya. Ya lelaki itu kini telah menjadi da’i besar di kota Madinah.Memang benar, wanita shalihah adalah harta karun yang amat berharga dan termahal bagi seorang lelaki bertakwa. Bagi seorang suami, istri shalihah merupakan permata hidupnya yang tak ternilai dan “bukan permata biasa”. (Dari kumpulan kisah nyata, Abdur Razak bin Al Mubarak)Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatanindahnya bermunajatdi sepertiga malam terakhirmu.Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalamperjalanan panjangmenyeru manusia kepada-Mu.Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,jangan biarkan aku melampaui batas sehinggamelupakan aku pada cinta hakikidan rindu abadi hanya kepada-Mu.Ya Allah Engkau mengetahui bahawa hati-hati initelah berhimpun dalam cintapada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telahbersatu dalam dakwahpada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu.Kukuhkanlah Ya Allahikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilahjalan-jalannya. Penuhilahhati-hati ini dengan Nur-Mu yang tiada pernahpudar. Lapangkanlah dada-dadakami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dankeindahan bertawakal di jalan-Mu.semoga bermangfaat…
»»  اقرأ المزيد...

Sabtu, Oktober 20, 2012

Rahmat Allah Bagi yang Berjilbab


 Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ”Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati! lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.
Syubhat lainnya lagi adalah ”Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ??
Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah disekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak (zahir) dalam diri orang itu.
Lalu bagaimana pendapatmu ketika anda melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah anda bisa menebak wanita itu muslimah ataukah tidak? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non muslimah lainnya.Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu “ala llah’ artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.
Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam) begitupula istri-istri sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna (lihat QS: 24 ayat 31 dan QS: 33 ayat 59) tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya.
Lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian “(HR. Muslim 2564/33).
Hadits diatas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim 2564/34).
Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar dzakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya.
Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu misalnya, Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, Ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, Kakeknya Urwah adalah Abu Bakar Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu anha istri Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia jangan ditanya tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya toh masih bersusah payah giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat. Aduhai,..betapa lalainya kita ini,..banyak memanjangkan angan-angan dan harapan padahal hati kita tentu sangat jauh suci dan mulianya dibandingkan dengan generasi pendahulu kita. 
»»  اقرأ المزيد...

Meneladani 4 Perempuan Dambaan Surga


Di era serba instan ini, banyak godaan materi yang senantiasa dihadapi oleh kaum perempuan. Namun, untuk menghindari godaan-godaan tersebut kita selalu diingatkan oleh Allah untuk memulai sesuatu hal dengan bersyukur. Bersyukur dengan apa yang dalam diri, khususnya bersyukur terhadap segala hal yang tidak tampak, seperti ketaatan, kesehatan diri, ketenangan yang ada di dalam hati, serta lingkungan yang baik. Itulah nikmat syukur yang harus kita dahulukan, sebelum mensyukuri hal lain.
Terkait dengan qalbu, kita juga harus melakukan permohonan maaf dan memaafkan. Tak sedikit keadaan yang membuat kita jengkel atau sedih, dimana di luar kendali kita. Oleh karena itu, setiap hari diusahakan kita berintrospeksi diri dengan meminta maaf dan memaafkan. Jangan sampai, ketika kita berbuat amalan, masih ada satu ganjalan dalam hati yang kita rasakan, yaitu mendendam.
Saudaraku, ketika kita ditanya: “Bagaimana menjadi perempuan dambaan syurga?“, kita tidak perlu mencari buku atau broswing internet, karena Allah telah memberikan pedoman lengkapnya, yaitu melakukan perbuatan dan ibadah yang didambakan oleh syurga, sesuai al-Qur’an dan As-Sunah.
Saat ini perempuan identik dengan kecantikan lahiriah, sampai-sampai banyak produk kecantikan yang memberikan iming-iming kulit putih dalam waktu satu minggu. Sayangnya tidak jarang para perempuan tidak melihat berapa harga yang ditawarkan. Asal bisa putih dan cantik, mereka berharap bisa membayar berapa pun. Padahal, ada kecantikan yang tak akan pernah pudar yaitu yang ada dalam qalbu. Kecantikan itu berupa ketaatan kepada Allah, kesederhanaan, kelembutan dan pengorbanan.
Dalam Surat An-Nahl (16) : 97 berbunyi : “Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa telah mereka kerjakan”.
Dalam surat tersebut kita mengerti, bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal kebajikan harus disertai iman. Ketika iman sudah bersemayam dalam qalbu, dan ketika melakukan kebaikan maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang baik pula.
Melalui media elektronik kita bisa melihat, perempuan yang mempunyai paras cantik dan kepintaran, dipuja-puja di ajang Miss Universe. Tak dapat dipungkiri, jika beberapa remaja mengidolakan mereka. Melihat fenomena tersebut, para ibu harus menanamkan pada anak-anak mereka sejak dini, bahwa perempuan yang didamba syurga bukan mereka yang bergelar Miss Universe atau Putri Indonesia, tetapi seperti yang ada dalam sebuah hadist berikut ini:
“Wanita paling utama di surga adalah Khadijah binti Kuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imrah dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Perempuan dambahaan al-Qur’an adalah sebagaimana Khadijah, Fatimah, Maryam, maupun Asiyah. Kita sebagai perempuan harus meneladani sifat-sifat mereka, bukan meniru sifat-sifat Miss Universe, Putri Indonesia, atau perempuan-perempuan yang masih jauh dari syariat Islam atau masih melanggar perintah Allah.
Berbicara tentang Khadijah binti Khuwalid, ada ucapan Rasulullah untuk Ummul Mukminin Khadijah kita yaitu “Allah SWT tidak akan memberikan wanita pengganti untukku yang lebih baik darinya. Ia beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar kepadaku. Ia mempercayaiku ketika orang – orang mendustakanku, ia menghiburku dengan hartanya ketika orang-orang menghalangiku. Ia memberiku anak keturunan ketika istri-istriku yang lain tidak bisa memberinya untukku.”
Kisah tersebut menjelaskan, bahwa saat Rasulullah mendapatkan wahyu di Gua Hira, maka Khadijahlah adalah wanita pertama yang menenangkan, sekaligus beriman dan mempercayai Muhammad sebagai Rasul. Ketika itu, Khadijah juga mengorbankan hartanya untuk berjuang di jalan Allah. Masya Allah. Begitulah Khadijah, wanita yang penuh pengorbanan selama hidupnya.
Ketika berbicara tentang Fatimah binti Muhammad, maka dalam sebuah hadist disebutkan, bahwa “Sesungguhnya Fatimah adalah pemimpin wanita penghuni surga.” (HR. Al-Hakim). Bahwa Fatimah menggantikan fungsi ibunya dalam mengurusi ayahnya Rasulullah SAW, setelah ibundanya wafat. Ia hidup dalam kesederhanaan dan sifat yang paling menonjol adalah tidak pernah mengeluh akan kekurangan hartanya.
Begitu pula Asiyah binti Muzahim. Ia adalah suri tauladan bagi wanita beriman. Ia adalah istri Firaun, pemimpin yang mengaku Tuhan, sangat berkuasa, kafir, dan menggetarkan istana, karena kesyirikan dan paganismenya. Meski istri seorang Firaun, iman Asiyah sangat dalam. Hubungannya dengan Allah sangat kuat, pemahamannya luar biasa, ucapannya halus, logikanya tajam, dan permintaannya halus.
Perempuan terakhir dambaan al-Qur’an adalah Maryam ibunda Isa AS. Dalam surat Ali Imron ayat 42 tertulis: “Hai maryam sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa  hidup dengan kamu).“ Ia adalah satu-satunya perempuan suci, yang melahirkan putra tanpa ayah. Satu-satunya perempuan yang namanya disebut dalam Al-Qur’an beberapa kali. Bahkan ia menjadi nama salah satu surat dalam Al-Qur’an.
Saudaraku, semoga kita semua dapat berusaha meneladani perempuan dambaan Syurga di atas. Amiin. 
»»  اقرأ المزيد...

Wanita Penghuni Surga



Tidak dipungkiri lagi bahwasannya bidadari surga yang selalu disebut Allah dalam Al-Qur'an, mampu membuat kaum muslimin berfasta biqul khairat untuk memperoleh bidadari-bidadari surga tersebut. Sebab salah satu kenikmatan surga yang selalu diidamkan oleh setiap kaum muslimin khususnya kaum laki-laki adalah ingin mendapat pelayanan dan cinta kasih bidadari.
Bagaimana tidak ingin bidadari surga? Berbagai keterangan tentang bidadari surga, baik tentang keelokan parasnya, kecantikannya, keharuman tubuhnya serta keperawanannya yang tidak pernah hilang, membuat banyak orang merindukannya.
Orang-orang yang beriman kepada Allah kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :
"Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik." (QS. Al Waqiah : 22-23)
"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya." (QS. Al Waqiah : 35-37)
"Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin." (QS. Ar Rahman : 56)
Dari sini munculah pertanyaan yang seolah-olah mempertanyakan keadilan Allah tentang laki-laki, wanita dan adanya bidadari surga. Mengapa laki-laki dijanjikan Allah memperoleh bidadari di surga? Mengapa wanita tidak dijanjikan mendapatkan bidadari di surga? Adilkah Tuhan?
Meskipun bidadari surga itu memiliki banyak kelebihan dan derajat terhormat, tetapi di dalam surga mereka masih kalah mulia dengan wanita dunia yang solehah. Mari kita simak percakapan Rasulullah Saw dengan salah satu isterinya yaitu Ummu Salamah r.a.
Ummu Salamah bertanya, "Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari bermata jeli?
Rasulullah saw menjawab, "Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat."
Ummu Salamah bertanya, "Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?"
Rasulullah saw menjawab, “Karena sholat mereka, puasa mereka dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan:
  • cahaya di wajah mereka
  • Tubuh mereka adalah kain sutera
  • Kulitnya putih Bersih
  • Pakaianya berwarna hijau
  • Perhiasannya kekuningan
  • Sanggulnya mutiara
  • Dan sisirnya terbuat dari emas.
Mereka berkata (wanita shalehah) “Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tidak pernah bersungut sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya…”
Subhanallah, alangkah hebatnya Allah memuliakan wanita. Begitulah cara Allah menciptakan bidadari surga untuk memuliakan wanita sholehah. Dengan begitu apakah para suami akan memilih bidadari surga ataukah isteri sholehah yang di surga kelak menjadi sangat cantik melebihi bidadari?
Dan tak hanya di akherat, wanita solehah mendapat kemuliaan juga di dunia, sebagaimana sabda Rasullulah Saw : "Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah" (HR.Muslim)
Sebaik-baik wanita adalah wanita sholehah dan sebaik-baik laki-laki adalah yang memuliakan wanita. Semoga kita menjadi muslim dan muslimah yang soleh, Allah Ta’ala berfirman:
"…dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. An Nisa’ : 13).
Wallahu A’lam Bis Shawab.
»»  اقرأ المزيد...

Cara Menjadi Wanita Sholihah


wanita-wanita-sholihah-info
anita sholihah adalah dambaan laki-laki sholih tentunya, karena ayatnya juga demikian laki-laki sholih untuk wanita sholihah dan sebaliknya, tentu ketika kita menjadi orang sholih akan mendapat wanita sholihah, Nabi saw. dalam hadits shahih mengabarkan sebagian ciri perempuan shalihah adalah   “wanita manakah yang paling baik? Beliau menjawab: “yaitu wanita yang membahagiakan (menyenangkan) suaminya jika memandangnya, mentaati suaminya jika suami memerintahnya, dan tidak menyalahi (mengkhianati) suaminya dalam hal yang tidak disukai suaminya berkenaan dengan dirinya dan harta suaminya”.
wanita-wanita-sholihah-info
Wanita yang solehah, adalah yang menjaga akidahnya dan kehormatan dirinya dengan cara taat pada hukum Allah. Misalnya ia menutup aurat dengan kerudung dan jilbab, menjaga pergaulan dari lawan jenis, dan jika menikah ia akan sayang dan menghormati suaminya.
Di antara kriteria wanita sholihah adalah sebagimana berkut ini :
1. Bertakwa.
2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
Gemar membaca Al Qur’аn dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.
Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
Berbakti kepada kedua orang tua.
Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
»»  اقرأ المزيد...

Jumat, Oktober 19, 2012

Wahai Saudariku, Kenapa Engkau Berpakaian Tapi Telanjang?


SAM JACKSON, bos sebuah perusahaan di New Castle, Inggris pernah mengatakan, " Sekarang kita bisa saling melihat satu dengan yang lain dalam keadaan telanjang, tidak ada penghalang lagi. Dengan tradisi baru ini, kami menemukan bahwa kami menjadi lebih bebas dan terbuka terhadap satu dan lainnya. Dampaknya terhadap perusahaan menjadi lebih baik.”
Menurutnya, ide, inovasi dan terobosan kreatif amat penting dilakukan di masa-masa krisis ekonomi seperti sekarang ini. Bekerja dalam keadaan telanjang diyakininya dapat memompa semangat dan meningkatkan produktivitas kerja. Mengenakan pakaian merupakan penghalang bagi peningkatan prestasi kerja. Dengan cara ini omzet perusahaan akan meningkat karena para karyawannya sangat bergairah ketika bekerja.

Untuk itu dia membuat peraturan, seminggu sekali setiap hari Jum’at para karyawannya baik laki-laki maupun perempuan diharuskan untuk tidak menempelkan sehelai benang pun pada tubuh mereka ketika bekerja di kantor. Lebih lanjut dia menambahkan, “Awalnya terasa aneh dan janggal, tapi setelah itu saya menjadi terbiasa. Saya berjalan telanjang menuju meja kerja saya, dan itu kini tidak masalah lagi. Saya merasa benar-benar nyaman.”

Peristiwa “Jumat Telanjang” tersebut dianggapnya sebagai sebuah kesuksesan yang besar dan berdampak positif bagi perusahaannya.

Itulah budaya, gaya hidup, dan cara berpikir orang Barat non Muslim yang materialis, permisif and hedonis. Demi mendapatkan dunia berupa materi, mereka rela berperilaku seperti hewan. Bahkan berperilaku lebih sesat dari hewan.
Budaya, gaya hidup dan cara berpikir Muslim dan Muslimah tentu sangat berbeda dengan mereka.

Oki Setiana Dewi, artis layar lebar yang sukses memerankan tokoh Anna Althafunnisa dalam film “Ketika Cinta Bertasbih” pada suatu kesempatan mengatakan, “Semua bagian tubuh berharga itu telah dikategorikan dengan sebutan aurat, baik laki-laki dan perempuan. Bagian tubuh perempuan yang termasuk aurat harus ditutupi lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. “Kenapa perempuan harus lebih banyak menutupi bagian tubuhnya? Sebab perempuan memang dipenuhi dengan bagian tubuh yang berharga dan harus dijaga dengan jilbab atau busana yang menutupnya,” ujarnya.

Fenomena berbusana Muslimah, berjilbab atau sekadar berkerudung di kalangan artis, model dan selebritis sedikit banyak telah ikut menyumbang sosialasasi budaya Islam di tengah masyarakat sehingga semakin banyak wanita Muslimah Indonesia yang berbusana Muslimah, berjilbab, atau sekadar berkerudung.

Dengan semakin marak dan memasyarakatnya budaya Islam ini di tengah masyarakat kita patut menghaturkan rasa syukur kepada Allah swt. Selain rasa syukur, pada saat yang sama, rasa sesal juga wajar muncul di hati. Rasa sesal ini muncul karena masih banyak saudari-saudari seiman kita yang belum, tidak mau, tidak bisa, atau salah paham dalam memahami definisi jilbab yang sesungguhnya, sehingga tidak sedikit dari mereka yang masih belum memenuhi seluruh syarat dan ketentuan berbusana sebagaimana yang telah diatur oleh Sang Pembuat syari’at.

Mengapa ada sebagian Muslimah yang belum memenuhi seluruh syarat dan ketentuan berbusana Muslimah? Karena ada sebagian Muslimah ketika beraktivitas di luar rumah atau ketika berhadapan dengan non muhrimnya ketika berada di rumah mengenakan pakaian tapi masih ada bagian aurat lainnya yang terbuka seperti rambut. Mengenakan pakaian ketat, pendek, berbahan tipis, dan atau berbahan transparan. Karena ada sebagian Muslimah yang mengenakan jilbab ketat, pendek, berbahan tipis, dan atau berbahan transparan.

Muslimah seperti ini meskipun mengenakan pakaian atau bahkan berjilbab menurut Rasulullah saw dikategorikan sebagai telanjang.

"Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. sesungguhnya aroma surga itu bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian." (HR. Muslim)

Ibnul Jauzi yang berpendapat bahwa berpakaian tapi telanjang ada tiga makna;
Pertama, wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya.
Kedua, wanita yang membuka sebagian aurat tubuhnya.
Ketiga, wanita yang mendapatkan nikmat Allah namun tidak bersyukur kepada-Nya.

Menurut Imam An-Nawawi, berpakaian tapi telanjang mengandung beberapa arti. Pertama, berpakaian atau dibungkus nikmat Allah swt tetapi telanjang dari bersyukur kepada-Nya. Kedua, terbungkus pakaian tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian terhadap akhirat serta tidak berbuat taat. Ketiga, mengenakan pakaian tetapi tampak sebagian auratnya; Keempat, berpakaian tipis yang masih memperlihatkan warna kulit dan lekuk tubuhnya.

Allah swt memberitahukan kepada kita tujuan diturunkan pakaian kepada kita adalah untuk menutup aurat. Jika berpakaian tapi jika ada sebagian aurat yang masih terbuka, lekuk tubuh jelas terlihat karena mengenakan pakaian ketat, atau anggota tubuh yang wajib ditutupi dan warna kulit nampak karena mengenakan pakaian tipis dan transparan berarti kita menyalahi aturan Allah swt dan tujuan Allah swt menurunkan pakaian, yang sama artinya kita berani menentang Allah swt.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf [7]:26)

Wahai saudariku! janganlah kalian mau ditipu oleh setan yang menyuruhmu untuk berpakaian tapi sesungguhnya telanjang! Jika engkau tidak mau dan tidak dapat ditipu oleh setan berarti engkau tidak menjadikan setan sebagai pemimpinmu.
يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raaf [7]:27)

Wahai saudariku, kenapa engkau berpakaian tapi telanjang? Apa niat dan tujuanmu? Apakah karena ingin tampil trendy? Apakah karena ingin memamerkan anggota tubuh dan keindahan tubuhmu? Apakah ingin merasa modern dan tidak ingin dicap kolot dan ketinggalan jaman? Apakah karena takut tidak bisa mendapatkan dunia berupa pekerjaan atau materi?

Wahai saudariku, ketika engkau mendirikan shalat menghadap Allah swt tentu engkau berpakaian lebar dan panjang. Engkau tentu tidak berani berpakaian ketat dan pendek. Engkau tentu tidak berani menampakkan sebagian atau seluruh bagian auratmu, atau menampakkan bentuk lekuk-lekuk tubuhmu. Demikian juga halnya di dalam kehidupan sehari-hari di luar (selain) shalat, tentu engkau pasti tidak berani menentang Allah dan Rasul-Nya. Engkau tahu dan paham, ajaran Islam termasuk cara berbusana tidak hanya diamalkan ketika shalat saja, tapi harus diamalkan dalam segala aktivitas kehidupan.

Wahai saudariku, jika engkau tercatat sebagai pelajar/mahasiswi sebuah lembaga pendidikan atau sebagai pegawai sebuah perusahaan tentu engkau mematuhi peraturan berbusana yang ada. Engkau pasti tidak berani menentang peraturan yang ada. Demikian juga halnya sebagai Muslimah, engkau tentu bersedia mematuhi peraturan yang ditetapkan agamamu.

Jika ada pertentangan antara peraturan di mana engkau belajar atau bekerja dengan peraturan agamamu, tentu engkau lebih memilih agamamu. JIka kebijakan pemimpin di tempat belajar atau bekerjamu bertentangan dengan aturan Tuhanmu, tentu engkau lebih takut kepada Tuhanmu dan lebih memilih aturan Tuhanmu. Engkau tahu dan sadar pemimpinmu bukanlah Tuhanmu, tidak mampu menyelamatkan dirimu dari azab di dunia dan di kampung akhirat. Engkau tahu dan sadar engkau tidak ingin ikut masuk neraka jika pemimpinmu masuk neraka. Jangan sampai kelak di akhirat engkau mengatakan kepada Allah swt. perkataan sebagaimana termaktub dalam ayat berikut ini:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

“Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahazab [33]:67)

Wahai saudariku, Allah swt lah yang memberimu pakaian. Maka bersyukurlah kepada-Nya. Bersyukur dengan cara mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya termasuk dalam hal berbusana.

“Wahai hamba-Ku, kamu semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kamu minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.” (HR. Muslim)

Wahai saudariku! Takutlah peringatan nabimu. Beliau saw. memperingatkan wanita-wanita berpakaian tapi telanjang tidak akan bisa mencium bau surga dari jarak jauh. Mencium baunya saja tidak, apalagi masuk ke dalamnya. Na’udzubillah min dzalik! Wallahu a’lam bishshowab.
»»  اقرأ المزيد...

Mempersiapkan Diri Bila Suami “Pergi” (2)

Bagaimana jika setelah “kepergian” suami, satu-satunya alternatif adalah kerja di luar rumah? Apalagi Anda pun merasa mempunyai kemampuan yang bisa dikembangkan tapi di luar rumah.
 
Kita semua yakin bahwa Allah menguji hamba-Nya sesuai kadar kemampuannya. Ada sebagian para wanita yang dianugerahi banyak kemampuan dan kreativitas, sehingga cenderung lebih mandiri. Artinya, tanpa ke luar rumah pun tetap bisa mengaktualisasikan diri, bahkan mencari tambahan penghasilan.
 
Namun banyak di antara para istri yang potensinya perlu disinergikan dengan yang lain, yang mau tidak mau membuatnya harus ke luar rumah. Atau lebih dari itu, ada sebagian di antara kaum wanita yang keterampilan dan keilmuannya dibutuhkan oleh umat. Akibatnya, walaupun ingin fokus di rumah, ternyata masyarakat menuntutnya untuk keluar rumah. Dan insya Allah, ini pun aktivitas yang mulia.
 
Di rumah atau di luar rumah, yang jelas para wanita harus tetap memahami tugas pokoknya, termasuk tuntunan-tuntunan syar’i yang mengatur aktivitas kaum wanita ketika di luar rumah. Dengan demikian tidak akan menimbulkan fitnah dan kemudharatan.
 
Selebihnya, para Muslimah tetaplah memiliki kewajiban untuk selalu membuat dirinya lebih baik. Dan boleh jadi, ujian-ujian ini adalah dalam rangka menaikkan kualitas diri dan derajat keimanan. Karena seseorang belum dikatakan beriman, kalau belum diuji.
 
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah ini amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
 
Nah, persiapkan diri apabila Allah menguji dengan “perginya” suami, entah nanti, esok, atau esoknya lagi.
 
Tulisan ini angap saja sumbangan simpati kepada para istri/ibu yang “merelakan” suaminya “pergi”. Belum banyak yang dapat kami lakukan untuk membantu. Semoga keberadaan kita sebagai istri/ibu, dan anak-anak kita, tidak menjadi fitnah dan penghalang bagi perjuangan kaum laki-laki beriman. Semoga keberadaan kita dapat mendukung para laki-laki beriman itu untuk menjemput kemuliaan syahid. Amin.
»»  اقرأ المزيد...

Mempersiapkan Diri Bila Suami “Pergi” (1)

Tiada satu orang pun tahu, sampai kapan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperjalankan usia pernikahan. Hampir setiap suami-istri bercita-cita melanggengkan ikatan pernikahan sampai tua, kakek nenek. Bahkan ada pula yang berharap, pasangannya di di dunia adalah pasangannya pula di akhirat. Wallahu ’alam.

Namun seringkali cita-cita itu tak lebih sebatas angan belaka. Takdir Allah-lah yang menentukan. Ada yang pernikahannya baru seumur jagung, lalu kandas oleh takdir berupa kematian maupun perceraian.

Perceraian, walaupun dibenci Allah, toh tidak sedikit menjadikannya jalan keluar. Perceraian kadang bisa menjadi solusi atas problem rumah tangga yang dihadapi.

Adapun rumah tangga yang adem ayem, bahkan sedang manis-manisnya, tiba-tiba dihadapkan pada takdir lain, yaitu kematian. Allah memisahkan pasangan. Sungguh, memang hanya di tangan Allah segala kebijaksaan ini.

Kematian, Risiko atau Dambaan?

Banyak para istri yang tidak siap ketika ditinggal wafat sang suami. Tampak beruntung mungkin bagi istri yang bersuami seorang PNS atau pegawai yang mendapat tunjangan. Dengan demikian, ketika suami meninggal, istri dan keluarganya terjamin (secara material).

Namun sejatinya bukanlah tunjangan atau pensiunan yang membuat para ibu “terjamin”. Banyak ibu di luar sana, yang suaminya bukan pegawai, bisa langsung sigap tatkala mendapati kenyataan suaminya diambil Allah. Dan kesigapannya ini tidak dipengaruhi oleh adanya pensiunan atau tunjangan.

Kematian sebagai takdir Allah seharusnya bukan sesuatu yang harus disesali. Terlebih bagi istri seorang da’i, kematian bukanlah risiko perjuangan, namun kemuliaan yang setiap saat didambakan. Kematian merupakan salah satu ujian untuk membuktikan keimanan. 

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)

Namun bagi kaum istri, kepergian suami mau tidak mau akan meninggalkan pemikiran yang cukup mendalam. Plus menuntut berbagai macam kesiapan. Inilah yang seringkali terlupakan oleh para wanita, terutama para istri aktivis dakwah.

Tingkatkan Diri

Para wanita, setelah menikah, biasanya merasa cukup “aman” dengan keberadaan suami sebagai qawwam.

“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisaa’: 34)

Qawwam berasal dari kata qa’im yang dapat diartikan sebagai seseorang yang bertanggung jawab, baik nafkah lahir maupun batin. Kedudukan suami sebagai qawwam seringkali membuat banyak wanita–kaum istri--terlena karena selalu “mengandalkan suami”. Mulai dari masalah penghasilan, sampai pada hal-hal sepele yang seharusnya bisa ditangani oleh seorang wanita. Kaum wanita cenderung menyerahkan berbagai urusan pada suami.

Hal itu tidak sepenuhnya merupakan kesalahan para istri itu. Pasalnya, memang tidak sedikit para suami yang meminta agar istrinya menangani hal-hal tertentu. Terkait dengan penghasilan, banyak laki-laki yang lebih suka istrinya tinggal di rumah, lebih fokus mengurusi rumah tangga. Dan hal ini pun tidak sepenuhnya salah.

Yang harus dipahami oleh para wanita yang notabene adalah kaum ibu, terlebih istri para aktivis dakwah, adalah usaha terus-menerus untuk meng-up grade diri. Hal ini harus pula dipikirkan oleh para suami, antara lain dengan memberi kesempatan bagi para istri untuk terus mengembangan diri, baik secara keilmuan maupun keterampilan.

Kembali kepada para istri. Sekalipun suami mungkin lebih menyukai istri tinggal di rumah atas pertimbangan kemaslahatan, bukan berarti para istri berhenti mengembangkan diri. Ada banyak hal yang tetap bisa dilakukan walaupun “hanya” dari rumah, tanpa meninggalkan anak-anak.

Para istri bisa memulainya dari sesuatu yang menjadi hobi, misalnya menjahit dan memasak. Ketika pekerjaan rumah tangga sudah tampak beres, anak-anak bisa diajak kerjasama, maka berilah kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang merupakan wujud dari pengembangan diri.

Banyak pula wanita yang menyukai macam-macam keterampilan yang bisa dikembangkan dari “balik” rumah. Naluri mendidik juga tidak terlepas dari sifat dasar ibu. Maka ketika suami lebih menyukai sang istri tinggal di rumah, naluri mendidik itu tetap bisa dikembangkan dengan menyesuaikan kondisi.
»»  اقرأ المزيد...

Jangan Jadikan Suami Kita Seperti Al-Qamah!


MALAM sudah larut, dingin merasuk sampai kesumsum tulang. Siapapun akan terlelap dalam dekapan selimut tebal penghangat tubuh, tapi tidak bagi Aini. Justru dinginnya malam membuatnya harus terjaga, melepaskan tidur nyenyak yang baru saja ia rasakan.

Seluruh tubuhnya agak bergetar  ketika kakinya menginjak lantai rumah. Saat itu memang sedang musim dingin. Walau jaket selalu ia gunakan ternyata tak mampu menahan dinginnya udara yang terasa membekukan semua persendian.

Bergegas ia mengenakan sandal rumah menuju kamar depan. Benar saja dugaannya, terlambat sedikit saja ia datang, air kencing telah membasahi tempat tidur ayahnya. Rupanya “diapers” yang dikenakan ayahnya tak lagi mampu menampung. Kalau sudah begini, ia harus kerja ekstra. Mengganti seprei, mengganti diapers, dan mengelap kencing di seluruh tubuh ayah. Aini harus siap dengan air panas di teremos untuk mensiasati situasi ini.

Ah! Kapan semua ini berakhir, sedangkan penyakit stroke dan lumpuh mertuanya tidak bisa diprediksi kapan sembuhnya? Bisa setahun, dua, atau malah selamanya. Aini galau memikirkannya. Kalau rasa capek dan jenuh melanda, rasanya ingin marah saja. Kalau sudah begini, “Menginggat Allahlah” yang mampu membuatnya kembali bersabar untuk merawat kedua mertuanya menemani di masa tuanya.

Berbakti

Mungkin ada di antara pembaca yang posisinya seperti Aini. Sebagai anak menantu dan kebetulan suami mendapat kepercayaan merawat orangtua. Tidak semua anak mendapat kepercayaan dari orangtuanya. Padahal, boleh jadi ada anak lain yang lebih mampu dalam materi.

Tapi begitulah, kita tidak bisa memaksa orangtua  untuk tinggal di tempat yang untuk ukuran kita layak merawat mereka. Bahkan ada orangtua yang bertekad tidak mau meninggalkan rumahnya walau ia sendirian.

Sebagai menantu tentunya bukan hal yang mudah untuk menganggap orangtua suami seperti orangtua kita sendiri. Padahal kita tahu, karena ikatan pernikahan otomatis mereka menjadi orangtua kita. Di sini letak pengorbanannya untuk beradaptasi dan dengan ikhlas merawatnya seperti orangtua kita sendiri.

Merawat orangtua ketika usia  belum renta, tentulah tidak serepot ketika mereka sudah sakit-sakitan. Sebagaimana Aini dan keluarganya, memerlukan kesabaran dan ketelatenan karena bukan hal yang mudah.melakukannya.
Di kala tubuh lelah dan kerepotan telah menyesakan dada, mungkin tanpa sengaja kita mengeluh. Hati kita menjadi berat untuk melayani mereka. Pandangan terhadap orangtua agak lain, bahkan terkesan menjengkelkan.

Hati-hati! Kita bisa terjebak pada perbuatan durhaka.

“Barangsiapa memandang kepada ibu bapaknya dengan pandangan sinis, meskipun mereka (ibu-bapak) yang pernah menganiaya, maka Allah tidak akan menerima shalatnya.” (Al-Hadits)

Memandang sinis saja dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala, apalagi perlakuan yang lebih buruk dari itu. Walaupun mereka pernah berbuat salah, tetapi kita tetap harus berbuat baik kepada mereka.

Sebagaimana Sa’ad ibnu Abu Waqash ketika menghadapi ibunya yang mogok karena Sa’ad masuk Islam. Beliau tetap santun dan berlaku baik, meskipun ibunya mengajak ia kembali kepada kekufuran. Beliau tetap teguh dalam aqidah Islam tapi tetap menghormati ibunya.

Berlaku Baik
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara mereka atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-Israa’: 23-24)

Islam tidak pernah mengkhususkan suatu perintah yang menyangkut memberi perhatian dan penghormatan kepada seseorang seperti yang dikhususkan kepada kedua orang ibu-bapak. Al-Qur`an telah menetapkan hak-hak bagi orangtua setelah hak Allah atas manusia. Setiap kali Allah menyuruh manusia agar mengakui karunia-Nya, bersyukur kepada-Nya dan menyembah-Nya, Dia senantiasa menyertakan perintah agar bersyukur kepada orangtua, berbakti kepadanya, bersikap baik dan merendahkan diri kepada mereka.

Penghormatan ini diberikan karena merekalah yang menjadi penyebab terwujudnya kita di dunia ini, sumber kehidupan, dan pusat pendidikan. Betapa besar pengorbanan mereka untuk membesarkan dan mendidik kita.

Tidakkah rasa kemanusian yang agung yang dipersembahkan orangtua seperti itu pantas sekali dibalas dengan hak-hak yang melebihi hak-hak semua orang?

Dan apakah tidak sepantasnya anaknya membalasnya dengan kebajikan yang lebih tinggi? Adakah orang lain selain orangtua yang berhak diperlakukan dengan baik?

Tetapi dalam kenyataan masih saja terjadi pelanggaran hak-hak orangtua oleh sang anak. Bahkan ada anak yang  karena tidak sabar, atau bosan dan tidak mau repot terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan orangtua yang sudah renta, maka ada yang menitipkannya ke panti jompo. Alasannya agar ada yang merawat atau supaya orangtua bisa berkumpul dengan orang-orang seusianya. Jadi, mereka lebih bisa menikmati masa tuanya.

Seandainya perlakuan itu terjadi pada diri kita, bagaimana perasaan kita terhadap anak kita?  Sedih, marah, dan kecewa. Mungkin itu yang kita rasakan. Kalau waktu bisa diputar lagi, mungkin kita akan enggan merawat mereka jika perlakuan itu yang kita dapatkan. Beratnya mengandung,  sakitnya melahirkan, beratnya membesarkan, mengasuh, dan mendidik anak,  akankah dibalas dengan menitipkan  ke panti jompo hanya karena “berat” mengurus orangtua?

“Serendah-rendah sikap durhaka ialah ucapan ‘ah ’karena merasa bosan. Seandainya Allah mengetahui suatu ucapan yang lebih rendah daripada itu ,maka Allah akan tetap melarangnya." (Al-Hadits)

Al-Qamah

Sebagai seorang istri yang shalihah, tentunya kita tidak akan membiarkan suami melakukan hal tersebut. Walau berat, merawat orangtua adalah salah satu bentuk bakti dan penghormatan kita kepada mereka sebagaimana tuntunan-Nya.

Ingat Al-Qamah, sahabat Nabi, yang sangat menderita di kala sakaratul-maut?  Padahal Al-Qamah adalah sahabat yang baik dan rajin beribadah. Nabi berusaha mencari penyebab penderitaan itu. Ternyata, Al-Qamah secara tidak sengaja mengabaikan sang ibu karena istrinya. Dan hal ini ternyata melukai perasaan sang ibu.

Wahai para Muslimah, sebagai seorang istri, tentunya kita tidak mau suami kita bernasib seperti Al–Qamah bukan? Jangan sampai diri kita menjadi penyebab suami kita mendurhakai kedua orangtuanya. Kalau hal ini terjadi, berarti kita sama saja mendurhakai kedua orangtua kita. Suatu  sikap yang tanpa disengaja melukai perasaan orangtua saja sudah berakibat menderita, apalagi yang dengan sengaja kita lakukan.

Sungguh besar pahala yang kita dapat dari memuliakan orangtua. Sampai-sampai Allah menetapkan,  “Ridha Allah tergantung ridha orang tua”. Jadi, barangsiapa ingin mendapat ridha Allah, maka berbaktilah kepada ibu–bapak walaupun keduanya sudah tiada.
»»  اقرأ المزيد...

Di belakang Pria yang Kuat, Selalu Ada Wanita Hebat!


BETAPA  hebat menjadi wanita. Lembut, penuh kasih, dilindungi, dihormati dan dihargai. Kehadirannya diperlukan oleh setiap manusia di semua peringkat usia. Sebagai anak dia menyenangkan. Sebagai saudara, dia menenteramkan. Sebagai isteri, dia menginspirasi. Sebagai ibu, dia pendidik ulung dan sebagai  teman, dia dikenal sebagai penasihat yang ikhlas.
Di sebalik kekurangannya dari sisi akal dan agama, dalam banyak situasi, wanitalah pemeran utama di belakang layar. Baik pendidikan yang diterimanya, baiklah pula pengaruh yang dibawanya.
Boleh dikatakan, wanita adalah penentu jatuh atau tegaknya pria. Malah dalam banyak kisah dari seluruh dunia , dialah yang membangunkan pria, memberikan motivasi dan buah fikiran yang tak dapat ditepikan.
Hal yang sama berlaku kepada keluarga Muslim-mukmin yang cinta li ilah li kalimatillah, jihad fi sabilillah.  
Dalam sebuah keluarga, posisi paling penting adalah sebagai isteri, karena dialah orang yang paling dekat dan paling mengerti suaminya. Di sinilah letaknya makna syarikatul hayah (pasangan kehidupan), yang setia menjadi sayap suami dalam keadaan suaminya hadir dan sewaktu ketiadaannya. Bersungguh-sungguh berusaha membantu secara hakiki dan maknawi dalam mencapai cita-cita hidup mulia atau mati syahid.
Firman Allah  Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) di dalam surah At-Taubah, ayat 71;
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ
اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang mukmin pria dan wanita, sebahagian daripada mereka adalah penolong bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mereka mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan ta’at kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Bijaksana.”   
Apakah syarikatul hayah (partner kehidupan?), apakah kriteria yang diperlukan? Secara ideal, seorang wanita Muslim haruslah memiliki modal:
1.  Memiliki tingkat iman dan taqwa yang memadai 
Paling tidak, mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Cukup pula untuk dia memilih dan memilah yang halal, haram dan yang syubhat. Dengan demikian, dia menggenggam izzah-nya dengan kuat.
Bila sudah berbekal dengan iman dan taqwa, dia tidak akan mudah berputus asa dan kemudian diserang kemurungan apabila ditimpa musibah. Dan dua bekal tersebut akan menjadi benteng dirinya dari terjebak ke dalam perbuatan atau kerja yang berisiko mengancam aqidah dan akhlaq.
2. Sebaiknya dia menguasai ilmu dien dan akademik 
Wanita yang berwawasan akan menyadari kepentingan ilmu lantaran dialah yang akan memikul tanggung-jawab sebagai guru besar kepada anak-anaknya, baik semasa keberadaan suami  di rumah maupun pada saat ketidakhadiran suami. Dengan ilmu, dia mampu berperan sebagai pembantu pribadi suami dan berupaya menjadi pendidik kepada anak-anaknya.
Sementara dengan kemahiran atau skill-skill tertentu, antara lain, memasak, menjahit, mengajar, memandu kenderaan dan lain-lain, dia akan memiliki inisiatif dan kreativitas dalam menjalani hidup, baik bersama suami mahupun ketika bersendirian.
3. Berkemampuan mengendali emosi
Wanita Muslim yang baik, ia harus sanggup bersusah-payah dan berusaha untuk qanaah, karena suami yang cintakan Allah, agama dan jihad akan otomatis menjadikan dunia sebagai sarana menuju akhirat, bukan sebagai kesenangan dunia semata. Menurut istilah Imam Asy-Syafii rahimahullah, “Hakikat zuhudadalah tidak meletakkan dunia di hatinya.”
Ini bermakna, bahwa seorang isteri harus kuat menahan hati dan emosi bila suatu saat, kekayaan kita mulai berkurang.
4. Memiliki mental yang kuat
Dalam bahasa yang lebih mudah, wanita harus kuat menahan perasaan. Ada banyak kondisi dan situasi yang menuntut kemampuan ini; kepergian suami dalam waktu lama, anak yang sakit di kala suami sibuk dan tak dapat mendampingi, keperluan ummat yang menyita waktu bersama suami. Atau ujian berat, ketika para wanita mendapati suami-suami mereka di penjara. Sementara keluarga yang tidak mendukung dan kondisi keuangan yang tidak stabil, adalah satu hal yang tak dapat tepiskan begitu saja. Bahkan berat pula kondisi ketika para suami berkeinginan “membantu” mengangkat derajat kaum hawa menjadi pendamping.
Sungguh luar biasa semua itu, jika perasaan marah, cengeng,  dan cemburunya mampu diletakkan di tempat yang betul dan baik serta wajar.
5. Mampu mengawal diri dari sifat buruk yang timbul dari situasi tertentu
Sifat buruk di sini antara lain adalah; membanggakan diri sebagai isteri, dengan itu dia paling tau banyak hal. Membanggakan suami dan merendahkan orang lain bisa juga menganggap dirinya orang paling malang dan paling memerlukan perhatian banyak orang ketika sedang  ditimpa musibah dan lain sebagainya.
6. Memiliki daya tahan dan kemahuan yang kuat
Daya tahan seorang istri-lah yang menjadi inspirasi dan menjadi pendorong utama para suami untuk melaksanakan amal dan karir. Dia ibarat  antibodi yang gigih melawan sembarang jenis bakteri, kuman dan  virus yang menyerang jiwa dan semangat suami dan keluarga.
Dia berkemauan kuat untuk bersama-sama suaminya menempuh ombak lautan perjuangan di dalam kapal bernama “jihad” dan rumahtangga menuju jannah Rabbnya. Dengan kemauan kuat yang kadang kelihatan seperti sebuah kedegilan, jiwa rapuh ditegakkan, semangat layu disegarkan dan air mata diusap dan diganti dengan senyuman.
7. Selalu berinisiatif untuk kelihatan menarik di mata suami
Wanita Muslim harus menarik dari berbagai segi; penampilan, cara berpakaian, berfikir, bersikap, berbicara dan mengambil keputusan, dalam waktu senang maupun susah. Wanita sebeginilah yang RasulullahShalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  maksudkan dalam sebuah ucapannya,
“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kamu tentang sesuatu yang paling baik dari seorang wanita? Wanita sholehah adalah wanita yang bila dilihat suaminya menyenangkan, bila diperintah ia mentaatinya dan bila suaminya meninggalkannya, ia menjaga diri dan harta suaminya.” [Hadith riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i)
Berbahagialah wanita yang membahagiakan suaminya.  Pria yang berjaya adalah pria yang bahagia lantaran telah memperoleh sebaik-baik perhiasan.
Rasulullah dalam sebuah haditsnya mengatakan,  "Ad dunya mata', wa khoiru mata'iha al mar'atus Shalihat."(dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah isteri Shalihat, HR. Muslim)
Pria yang berjaya adalah pria yang jiwanya bahagia dan merdeka, adalah pria yang tidak terpenjara oleh ulah dan ragam wanita di sisinya. Untuk itu, kesempatan belajar dan hak dididik perlulah diberi kepada kaum wanita. Tak ada ruginya pria memberi kesempatan wanita belajar. “You get what you give.”
Yakinlah, tangan yang menghayun buaian, akan mampu menggoncangkan dunia. Wallahu a’lamu  bish-shawabi. (Hanya Allah yang Maha tahu kebenarannya)
»»  اقرأ المزيد...

Belajar Ketabahan dari Ummu Sulaim

SUATU hari, anak Abu Thalhah meninggal dunia. Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, berkata kepada orang-orang yang menjenguk anaknya, “Janganlah ada yang memberi kabar kepada Abu Thalhah hingga akulah sendiri yang memberi kabar duka ini.” 
Berkata begitu, Ummu Sulaim segera merapikan jenazah putranya.
 
Malam harinya, Abu Thalhah pulang. Ia segera menanyakan keadaan anaknya.
 
“Ia tenang seperti sedia kala,” jawab Ummu Sulaim.
 
Istri taat ini bergegas menyuguhkan makan malam bagi suaminya. Tak lupa mematut diri di depan cermin agar tampak lebih indah dari biasanya.
 
Melihat istrinya yang berhias cantik, Abu Thalhah pun bergairah. Malam itu pun Ummu Sulaim melayani suaminya di atas tempat tidur.
 
Setelah Ummu Sulaim melihat suaminya tampak puas dan tenang jiwanya, ia pun berkata lembut, “Wahai Abu Thalhah, bila ada keluarga yang meminjam sesuatu kepada keluarga yang lain, lalu mereka meminta kembali barang pinjaman itu, tetapi keluarga itu menolak mengembalikan pinjaman itu, bagaimana menurut pendapatmu?”
 
“Sungguh, sekali-kali mereka tidak berhak untuk menolaknya karena barang pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya,” jawab Abu Thalhah dengan segera.
 
Mendengar jawaban itu, Ummu Sulaim tersenyum, kemudian berkata lagi, “Sesungguhnya anakmu adalah barang pinjaman dari Allah, dan Allah telah mengambilnya.”
 
Seketika Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirja’, Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
 
Esok harinya, Abu Thalhah menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah membenarkan sikap Ummu Sulaim dan bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kamu berdua.”
 
Buah Surga
 
Anak adalah permata jiwa yang senantiasa dinanti dan dirindui kehadirannya. Ketiadaan anak menjadikan hidup terasa sepi, sedang kehadirannya menjadikan hidup terasa menjadi ramai dan ceria. Karena itulah, ketika anak-anak telah hadir, mereka selalu berusaha dirawat dengan sebaik-baik perawatan, diasuh dengan sebaik-baik asuhan, dan dijaga dengan sebaik-baik penjagaan.
 
Harapannya, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga senantiasa sehat jiwa dan raganya. Anak-anak yang sehat, anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik, akan selalu tampil lincah dan ceria. Hari-harinya selalu dihiasi dengan gerak-gerik lincah, canda tawa, dan senyum nan menggelitik yang membuat kedua orangtuanya selalu diliputi perasaan suka dan bahagia. Inilah anugerah terindah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa diidam-idamkan oleh setiap orangtua.
 
Akan tetapi, harapan seringkali tak sesuai dengan kenyataan. Tak sedikit para orangtua yang harus menghadapi ujian berupa kematian anaknya, di saat usia sang anak masih amat belia. Kesedihan pun menyelimuti hati. Tak jarang begitu dalam. Bahkan, tak sedikit orangtua yang stres dan frustrasi, dan pada gilirannya mengumpat-umpat Allah ketika menghadapi ujian berupa kematian sang buah hati.
 
Seorang Muslim yang memiliki keimanan mantap tidak akan bertindak seperti itu. Sebab, ia mempercayai dengan sepenuh keyakinan bahwa hakikat kepastian, baik dan buruknya, itu dari Allah. Oleh karena itu, sungguh akan tampak kecil segala peristiwa dan musibah yang menimpa dirinya. Ia akan berserah diri kepada Allah, sehingga jiwanya akan merasa tenang, hatinya akan tabah menghadapi cobaan, ridha akan kepastian, dan tunduk kepada suratan takdir Allah.
 
Seorang ulama berkata, “Hendaknya kedua orangtua bersabar dan menerima ketentuan takdir Allah, karena putusan Allah pada seorang mukmin dalam hal yang tidak menyenangkan mungkin lebih baik daripada dalam hal yang menyenangkan hati.”
 
Apalagi, bagi orang-orang yang bersabar menghadapi kematian anak, akan memperoleh “buah manis” yang akan dipetik di akhirat nanti. Di antara buah manis itu tak lain adalah surga.
 
Rasulullah bersabda, “Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah berfirman kepada malaikat, ‘Kalian telah mengambil anak hamba-Ku?” Mereka (malaikat) berkata, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Kalian telah mengambil buah hati hamba-Ku?’ Mereka berkata, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Ia memuji-Mu dan ber-istirja’.’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah bagi hamba-Ku rumah di surga dan berilah nama Baitul-Hamd’.” (Riwayat At-Tirmidzi)
 
Bersedih, Boleh
 
Apakah dengan demikian, bersabar menghadapi kematian anak berarti tidak boleh bersedih? Tidak boleh menangis?
 
Tentu saja tidak serta merta seperti itu. Islam mengajarkan bolehnya bersedih menghadapi kematian anak karena itu merupakan hal yang manusiawi.
 
Bersedih adalah luapan ekspresi yang lumrah ketika seseorang berpisah dengan sosok yang disayanginya (anak). Bersedih seperti ini justru menunjukkan ekspresi kecintaan dan kasih sayang. Yang tidak diperbolehkan adalah ketika kesedihan itu telah berlebih-lebihan dengan diiringi suara tangis ratapan.
 
Rasulullah sendiri diriwayatkan begitu bersedih ketika menghadapi kematian Ibrahim, anak kesayangannya. Rasulullah bahkan menangis sehingga matanya basah.
 
Dalam sebuah riwayat disebutkan, kesedihan dan tangis Rasulullah itu terlihat jelas oleh sebagian kaum Muslimin yang bertakziyah di rumah beliau.
 
Berkatalah salah satu hadirin, “Mengapa Tuan menangis? Bukankah Tuan pernah melarang kami menangisi orang mati?”
 
Mendengar perkataan itu, Nabi bersabda, “Aku tidak pernah melarang berdukacita (bersedih), tetapi yang pernah kularang itu hanya mengangkat suara dengan menangis. Apa-apa yang kamu lihat kepadaku adalah bekas apa yang terkandung di dalam hati dari rasa cinta dan sayang. Barangsiapa yang tidak menyatakan kasih sayang, orang lain tidak akan menyatakan kasih sayang terhadapnya.”
 
Jadi, sedih menghadapi kematian anak dalam batas-batas yang wajar diperbolehkan syariat. Yang dilarang adalah jika tangisan itu dilakukan dengan meratap. Apalagi bila disertai dengan menampar pipi dan merobek-robek pakaian, maka hal ini jelas-jelas dilarang syariat Islam sebagaimana sabda Rasulullah, “Bukan dari golonganku orang yang (ditinggal mati keluarganya) memukul-mukul pipi dan merobek-robek (kain) saku dan menjerit-jerit dengan suara jeritan kaum jahiliyah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
 
Karenanya, ketika harus menghadapi takdir kematian anak, bersedihlah dalam batas-batas yang wajar. Terimalah takdir kematian itu dengan sabar dan ikhlas. Mudah-mudahan dengan begitu, kematian anak akan menjadi “buah manis” yang akan dipetik di akhirat nanti. Ya, anak tersebut akan menjadi jalan menuju surga bagi orangtuanya.
 
Di sinilah kisah Ummu Sulaim di atas menemukan konteksnya sebagai pelajaran berharga tentang ketabahan yang luar biasa seorang ibu menghadapi kematian anaknya. Itu semua tentu sebagai akibat dari spirit keimanan yang benar-benar merasuk ke dalam kalbunya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
»»  اقرأ المزيد...